Ya, Kita merasa tidak jenius karena kita
seringkali beranggapan bahwa orang lain lebih hebat dari kita. Mereka dapat
mengerjakan soal-soal matematika lebih
cepat dari kita. Mereka dapat mengerjakan soal yang jauh lebih sulit dari kita.
Mereka dapat menghafal banyak deret angka sedangkan kita TIDAK.
Lalu pernahkah kita
bertanya mengapa mereka bisa sedangkan kita tidak? Apakah strategi belajar kita
sudah sama dengan mereka? Apakah lingkungan kita berbeda dengan mereka?
Ternyata memang tidak
sama. Mereka ternyata mempunyai cara hidup yang lebih bisa melatih otaknya
sehingga kecerdasannya mencapai titik yang optimal. Intinya, kita sebenarnya
mempunyai potensi ke-Genius-an yang sama hanya saja kita belum menggunakan
potensi itu. Right?
Lagi-lagi saya mengajak Anda untuk
menyimak satu cerita menarik yang saya nukil dari pengalaman seorang
Therapist/Konsultan Pengembangan Diri dan Insya Allah sangat bermanfaat buat Anda.
Begini ceritanya.
Beberapa waktu yang lalu, saya diminta
membantu anak SMA kelas 1, sebut saja Faris. Yang menurut orang tua dan
sekolahnya adalah anak bermasalah. Saat pertama kali bertemu, Faris datang
bersama ayahnya. Lebih tepatnya, ayah Faris membawa anaknya bertemu saya.
setelah ngobrol santai beberapa saat, saya melihat apa yang sebenarnya menjadi
duduk persoalan.
Yang pertama, Faris tidak mempunyai figur yang
bisa menjadi idola atau panutan hidupnya sehingga ia sama sekali tidak tahu mau
menjadi seperti siapa. Kedua, Faris memandang dirinya sebagai anak yang
bermasalah dan gagal di sekolah karena orangtua dan sekolah menilai dirinya
seperti itu. Ketiga, Faris tidak tahu apa gunanya ia sekolah. Ia tidak tahu
tujuan hidupnya.
Seperti kebanyakan anak muda, penampilan Faris
agak berantakan. Telinganya ditindik, baju yang dipakainya saat itu jauh dari rapi
dan celana panjangnya adalah celana jean yang dibagian paha depan, kiri dan
kanan, robek. Selain itu Faris datang dengan menggunakan sandal. Setelah
selesai berdiskusi saya meminta Faris, untuk sesi konseling berikutnya, datang
sendiri namun dengan satu syarat. Saya minta ia untuk merubah penampilannya.
Bila ia tidak mau maka saya tidak akan memberikan waktu saya. Saya minta Faris
untuk berpakaian rapi, pakai celana dari bahan kain bukan jean, tidak boleh ada
tindik di telinganya, pakai jam tangan, ada pen di kantong bajunya, dan harus
pakai sepatu.
Mengapa saya ‘memaksa’ Faris untuk melakukan
hal ini? Saya ingin mengetahui seberapa besar keinginannya untuk berubah.
Apakah ia bersedia membayar harga untuk itu? Apakah ia bersedia keluar dari
zona kenyamanannya? Hal paling penting adalah saya ingin mengubah cara ia memandang
dirinya. Dari no-body menjadi some-body. Langkah paling mudah sebelum saya
membantu Faris dari dalam (mental) adalah dengan mengubah penampilan luarnya.
Ini ada hubungannya dengan citra diri. Dan ini adalah bagian dari terapi yang
akan saya lakukan.
Benar, saat pertemuan kedua, Faris datang
sendiri dengan penampilannya yang berubah total. Saya memuji perubahan dirinya.
Setelah aspek luarnya di-obok-obok, kini saya masuk ke aspek mentalnya. Sejak
dari awal saya telah memandang dirinya sebagai seorang pemenang. Saya
menyampaikan hal ini secara terbuka. Saya tahu ia tidak atau belum percaya pada
dirinya. Dan saya juga tahu bahwa saya bisa membuat ia percaya apa yang saya
katakan. Mengapa? Ingat prinsip kerja pikiran bawah sadar. Saya tahu Faris memandang
saya sebagai orang yang memiliki otoritas. Jadi apa yang saya lakukan? Saya memanfaatkan
pengetahuan saya tentang cara kerja pikiran, masuk ke pikiran bawah sadarnya,
dan menanam bibit-bibit pikiran positif.
Faris lalu menunjukkan rapor sisipan yang baru
ia terima. Hasilnya? Luar biasa. Gurunya ternyata kehabisan tinta biru sehingga
‘terpaksa’ menulis nilai ujiannya dengan tinta merah. Setelah saya amati, saya
menemukan satu hal menarik. Meskipun hampir semua nilainya ‘kebakaran’ namun
ada dua nilai dari dua bidang studi yang pernah mendapatkan nilai sangat
tinggi, yaitu Fisika 98 dan Sosiologi 93.
Saya lalu bertanya, “Faris, jawab jujur! Nilai
Fisika dan Sosiologi ini apakah benar-benar nilai yang kamu capai sendiri atau
kamu nyontek?”. “Saya capai sendiri, Pak”, jawab Faris tegas. Saya tahu bahwa
ini jawaban jujur dengan membaca bahasa tubuhnya.
“Ok! Kalau begitu, jawaban kamu membenarkan
keyakinan saya terhadap dirimu. Saya tahu kamu anak cerdas dan mampu. Nilai
merah dirapormu itu sebenarnya bukan karena kamu tidak mampu tapi karena kamu
tidak belajar. Benar seperti itu?”, Tanya saya lagi. “Benar Pak!”, jawab Faris
sambil menundukkan kepala. “Faris, kalau bicara dengan saya, saya mau kamu
bicara dengan kepala tegak dan menatap mata saya”, perintah saya. “Kamu tidak
mau belajar karena kamu merasa bahwa sekolah sebenarnya tidak ada gunanya bagi
kamu. Apa benar seperti itu pemikiranmu?”, kejar saya lagi. “Benar Pak!”, jawab
Faris sambil menatap saya.
Faris selanjutnya bercerita bahwa ia telah
diskors selama I minggu dan akan dikeluarkan oleh sekolah. Ia ingin pindah ke
sekolah lain dan ia berjanji akan berubah bila ia telah pindah sekolah.
Mendengar cerita ini saya lalu berkata, “Faris, kalau kamu mau belajar dari
saya, maka yang pertama harus kamu mengerti adalah kita harus melakukan segala
sesuatu dengan alasan yang benar dan dengan bangga. Jangan mau dikeluarkan. Ini
sungguh memalukan. Kalau kamu dikeluarkan maka hal ini sama dengan kamu diusir
karena kamu dianggap sebagai pesakitan atau criminal. Apalagi dengan nilai yang
jelek. Kalau mau, kamu yang memutuskan keluar dari sekolahmu. Tapi nanti
setelah naik kelas 2. Kamu pindah sekolah tapi dengan nilai rapor yang tinggi,
kalau perlu kamu masuk 5 besar di kelasmu. Saat itu sekolahmu akan
memohon-mohon kamu untuk tidak pindah karena akan kehilangan murid cerdas. Nah,
kalau kamu pindah saat itu, kamu pindah atau keluar dengan bangga dan gagah.
Kamu mengerti hal ini?”. “Ya Pak”, jawab Faris.
Selanjutnya saya berkata, “ Faris, saya
melihat dirimu seperti burung elang yang mampu terbang sangat tinggi. Kamu
bukan ayam. Ayam matinya karena dipotong. Elang matinya karena usia tua setelah
terbang tinggi menjelajahi dunia. Kamu adalah elang, bukan ayam. Jangan pernah
mau menjadi seekor ayam. Saya bersedia membantu kamu karena saya melihat kamu sebagai
seekor elang. Saya hanya mau melatih elang. Saya tidak pernah mau repot dengan
ayam. Tahu mengapa? Karena ayam memang nggak bisa terbang tinggi… hehe. Kalau selama ini sekolah, guru, dan kepala
sekolahmu memandang kamu seperti ayam, ini karena mereka tidak tahu siapa
dirimu yang sesungguhnya. Mari kita buktikan pada mereka siapa kamu
sesungguhnya. Kamu adalah seekor elang. Masuk 5 besar di kelasmu itu sangat
mudah. Kamu punya kemampuan untuk itu.”
Saya melihat ia agak bingung setelah mendengar
cerita saya. Jelas-jelas Faris itu manusia koq dibilang seekor elang… ^_^
(sebuah analogi, sahabat…)
Kemudian Faris berkata, “Jujur Pak, baru kali
ini ada orang yang bicara seperti ini pada saya. biasanya saya hanya ditegur,
dimarahi, dihukum, dan dikucilkan karena dianggap anak nakal dan membuat
masalah untuk sekolah. Guru BP saya tidak pernah bicara seperti ini pada saya.”
Setelah cukup dengan ‘programming’ saya lalu
memberikan gambaran akan masa depan yang bisa ia capai. Kemungkinan-kemungkinan
yang bisa ia pilih dalam hidupnya. Saat itu ia mulai terlihat semangat. Ia
mulai bisa melihat hubungan antara sekolah dan masa depan.
Setelah saya membantu Faris menyusun goal atau
target pembelajaran. Berapa nilai yang akan dicapai untuk tiap mata pelajaran.
Mengapa ia perlu mencapai target itu. Mengapa ia bisa mencapainya. Bagaimana ia
mengatur dirinya dengan lebih baik sehingga waktu yang ada dapat digunakan
secara efektif dan efisien.
Saya lalu menjelaskan bahwa semua bidang studi
yang diajarkan di sekolah sebenarnya masuk dalam 4 kategori yaitu kategori
bahasa, konsep, kombinasi, dan hapalan. Yang masuk kategori bahasa misalnya
pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris. Kategori Konsep contohnya Matematika.
Kategori Kombinasi contohnya, Fisika, Kimia, Akuntansi. Hapalan contohnya,
Biologi, Sosiologi, dan Sejarah. Setiap kategori menuntut strategi belajar yang
berbeda. Saya lalu mengajarkan cara belajar yang benar untuk masing-masing
kategori.
Setelah itu saya mengajarkan strategi untuk
mengerjakan ujian. Mengapa? Karena setiap tipe soal menuntut cara mengerjakan
yang berbeda. Misalnya tes multiple choice, essai, menjawab singkat atau
melengkapi, soal cerita dan lain-lain.
Faris berkata, “Sekolah saya nggak pernah
mengajarkan seperti yang Bapak ajarkan pada saya. Saya baru tahu kalau setiap mata
pelajaran menuntut strategi belajar yang berbeda.”
Faris pun pulang dengan antusiasme baru. Ia
berjanji akan memberikan laporan mengenai hasil ujian yang ia capai. Dari guru
les-nya saya mendapat kabar bahwa Faris telah berubah. Sikap, semangat dan cara
pandangnya terhadap dirinya telah berubah. Ia lebih focus.